Jumat, 28 Mei 2010

jeruji berputar



Jeruji berputar, bergerak di bawah sang mentari yang sedang memebenahi diri setelah tadi sempat teriris awan yang terbawa angin. Menyembul cemas tersekap awan gelap yang membendung tangis. Awan menangis tadi sebentar tetap raungannya tidak begitu terdengar, ia enggan mengamuk seperti biasanya mengamuk menyaksikan manusia yang hatinya hanya tinggal setitik.
Jeruji berputar, meroda di atas Lumpur basah, licin, bergerak meliuk dengan gemetar. Susah benar hari ini bagi Karta, perut kosong tetapi tenaga terus terkuras menyeimbangkan laju ban sepeda yang lengket pada jalanan berlumpur. Karta menghela susah.
“Ah, mengapa zaman begitu cepat berlari ?”
Karta merasa dirinya melangkah santai di antara zaman uang begitu cepat berlari. Ia menyaksikan kisah zaman yang tidak pernah adil.
Karta meletakan sepedanya di depan rumah, ia masuk dengan wajah murung.
“Kamu kenapa, Nak? Tidak seperti biasanya kamu diam seperti ini.”Mak Irah mengelus rambut putranya yang basah.
“Mak, ini uang yang Karta dapat hari ini. Maaf Mak, Karta hanya berhasil mengumpulkan 2 kilogran cacing.” Karta menyerahkan 1 lembar uang sepuluh ribuan dan 2 lembar uang seribuan.
“ Karena ini kamu murung, Nak? Emak tidak marah kamu mendapatkan uang sedikit, justru Emak senang kamu pualang dengan keadaan yang utuh.” Mak Irah yang buta meraba wajah Karta.
“Bukan itu, Mak.”
“Terus apa, Nak?”
“Mak, kapan ya bapak pulang untuk menjenguk kita? Sudah 8 tahun bapak tidak ke sini.”
“Lho mengapa kamu bertanya seperti itu? Bukankah kamu benci sama bapak?”
“Karta melihat poster bapak terpajang di banyak tempat. Dia mencalon sebagai DPR RI.”
“Yang benar kamu?”
“Benar Mak, Karta yakin itu bapak.”
“Alhamdulillah.”
“Tapi bapak tidak pernah ingat pada kita, Mak.”
Raut wajah mak Irah memucat, ia sangat menyesal mengapa dulu dia menikah dengan ayah Karta yang keturunan darah biru.
“Tubuhmu bau amis, ayo cepat mandi!”
“Iya, Mak”
Beberapa saat kemudian pintu diketuk,terdengar ucapan salam.
“Sepertinya itu suara nak Linda.”
Karta yang telah menanggalkan bajunya segera membuka pintu.
“Kamu mau apa ke sini Lind.” Karta ketus.
“Masih marah ya?”
Karta tambah cemberut.
“Antarkan aku ke warnet lagi yuk?” Pinta Linda.
“Tidak mau!”
“Masih marah atas kejadian kemarin? Aku minta maaf, Ta. Kamu sih diajarin tidak bisa-bisa.”
“Ya sudah kalau memang Aku dasarnya gaptek ya gaptek mau bagaimana lagi?”
“Karta, Kamu jangan seperti itu. Dulu, waktu aku masih SD juga tidak tahu tentang teknologi komputer, tetapi setelah aku duduk di bangku SMP aku baru mengenal lebih jauh.”
“Sudah, sudah jangan ceramah terus! Aku mau mengantar kamu ke warnet tetapi kamu harus lebih sabar jika aku bertanya.”
“Ya aku janji, dan hari ini aku akan mengajarkan cara membuat Email.”
“Tunggu dua jam lagi ya, aku mau mandi.”
“???”



“Mak, Karta ingin sekolah lagi.”
Mak Irah hanya tersenyum.
“Bukankah dulu kamu menamatkan SD selama sembilan tahun, kalau kamu melanjutkan ke SMP berarti telah terlambat selama tiga tahun.”
“Tetapi Karta ingin pintar seperti Linda.”
“Nak, beajar itu bukan hanya di sekolah tetai kamu juga bisa belajar langsung dari alam, dari sebuah pengalaman, dan dari buku.”
Karta diam dan keluar untuk menghirup udara panas. Ia duduk di kursi teras yang sudah rapuh. Ia melamun dan membayangkan hal-hal yangh ingin ia gapai bahkan kalau perlu ia ingin menggapai mentari yang kadang menyengat. Tetapi kemudian angannya melemah, ia sadar hal itu tidak mungkin ia gapai karena terkadang mimpi itu tidak bisa hadir memenuh kenyataan.
“Karta!”
Karta tersentak kaget, semua lamunannya lari bersembunyi .
Ia menoleh ke seseorang yang memanggil lamunannya.
“Bapak?”
Tubuh mungil Karta menyerbu orang yang dipanggilnya bapak itu dan memeluk erat.
“Karta, ini paman Rio, bukan bapakmu.”
Karta melepas tubuh yang ia peluk erat dan mengusap-usap kelopak matanya dengan keras.
“Maaf paman, ayo masuk.”
Suasana di dalam rumah Karta menjadi ribut karena tawa sejak paman Rio datang . Akhirnnya mereka kelaparan . Karta pun menjadi korban untuk di suruh membeli nasi .
“Karta pinjam sepeda motornya paman,ya?”
Karta merayu
“Kamu sudah bisa mengendarai sepeda motor?”
“Iya dong”
Paman Rio menyerahkan kunci motor, Karta langsung menyambernya dan berlari keluar. Ia segera menaiki sepeda motor yang sejak tadi parkir didepan rumahnya. Kunci telah dipasang, tombol start telah di tekan dan Karta juga telah memasang gas tetapi ban sepeda motor tidak kunjung berputar.
“Paman…….Paman tolong Karta!”
Paman Rio keluar menghampiri Karta.
“Lho, kok kamu belum berangkat?”
“Iya ini Paman, anu, sepeda motornya tidak bisa jalan.”
“ya sudah, Karta turun dulu biar Paman yang mencoba.”
Tidak beberapa lama sepeda motor pun dapat berjalan.
“Pantas saja businya belum masuk.”
“Oh, begitu ya? Tetapi kemarin waktu karta diajarin sama Linda gampang-gampang saja tidak pakai busi-busian.”
“Mungkin itu motor Bebek.”
“Motor Bebek?”
“Sudahlah kamu mau meminjam motor tidak? Perut Paman menjerit-jerit semakin histeris.”
“Sebaiknya Karta pakai kaki saja ke warungnya, lebih hemat BBM dan anti polusi.’
Karta berlari-lari meninggaalkan pamannya yang masih duduk di sepeda motor.

***
Kaki kecil Karta menepak jalan beraspal yang panas tana alas kaki. Jejak-jejak kecilnya terlukis di Bumi Bangsa. Jika ada seseoraang yang dapat menafsirkan guratan jejaknya, Maka ia akan mendapati ssebuah tulisan” impian bangsa yang gugur.”
Karta menengok ke kanan dan ke kiri n, memastikan jalan aman untuk disebrangi. Warung nasi di seberang jalanlah yang memaksa tubuhnya bergerak memeotong jalan. Karta melihat temannya berdiri di trotoar jalan tepat di depan warung nasi. Ia sedang menghisap rokokdan membiarkan asapnya bersenang-senang di udara.
''Hai, Yo.” Karta menyapa Aryo, tetapi Aryo tidak memperdulikan keberadaannya, ia terus menghembuskan asap ke langit. Karta meneruskan langkahnya.
''Woy.....Karta!''
Karta mendekat.
''Mau rokok?''
''Aku tidak doyan, kan MUI telah mengharamkannya.''
''Ta....Ta.. ketinggalan zaman, lo, sekarang bukan zamannya bapak moyang.''
Karta melihat poster bapaknya di seberang jalan.
''Yo, lihat poster itu! Ia adalah bapakku calon DPR RI.''
Aryo tertawa keras dan meninggalkan Karta sambil mengumpat.
''Ta...Ta..., Mengapa sih kamu mau mengaku jadi anaknya caleg DPR yang pekerjaaannya hanya menebar janji tanpa ada hasil yang bisa dipanen. Ingat! Janji akan ditagih di hadapan Tuhan dan manusia. Ha...ha...ha..''
Karta memperpanjang moncongnya dan masuk ke warung nasi.
***
Cahaya terang semakin terang lalu tiba-tiba menjadi remang-remang berisyarat mendung. Jalan di depan warung nasi itu ramai dikerumuni orang-orang yang ingin melihat seorang anak yang berada di ujung nafas. Mereka sangat miris melihat darah yang melapisi jalan seperti tikar. Anak itu.... anak yang tergeletak di tengah-tengah kerumunan orang-orang memeluk tubuh seorang bapak yang menabraknya.
''Ba..bapak'', ujar anak itu tertahan-tahan. Napasnya sesak karena tersumbat darah di hidung.
Orang yang dipanggilnya bapak itu, semakin bingung karena ia tidak mengenal siapa anak yang memeluknya. Anak itu masih menggenggam erat plastik yang berisi tiga bungkus nasi.
''Bapak, Karta titip ini untuk ibu, dia pasti sudah menunggu. Ibu pasti senang kalau bapak mau pulang.''
Anak itu menyerahkan plastik yang berlumuran darah.

Hari ini impian yang kering telah berakhir dan lumpur-lumpur tidak lagi melukis jejaknya. Hari ini, senyum itu tidak lagi menemani seorang wanita tua yang buta. Hari ini, keringat-keringat basah yang mengalir dari tubuh mungilnya tidak lagi menetes di hamparan bumi yang ia lalui, mungkin hanya impian kering yang menjadi sejarah tak tertulis baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon beri komentar y